Sabtu, 21 April 2012, adalah hari yang sudah saya nantikan entah sejak berapa tahun lalu. Sepuluh? Mungkin lebih. Lebih sedikit, lah (oke, katakanlah saya sudah tidak muda lagi). Ketika beranjak puber saya mulai mengenal mereka dari kaset lawas yang dipinjamkan oleh kakak. Images and words. Dari awal kuping saya mencicipi mereka, saya sudah jatuh cinta. Semenjak itu, saya pilih untuk "mengikuti" mereka. Dan benar saja, penantian saya untuk melihat aksi mereka secara nyata, terbayarkan sudah.
Dibuka dengan Bridges In The Sky, Dream Theater mampu membuat para penonton bersorak, mengangkat tangan, dan menghentak-hentakkan badan. Tentu saja, hal ini berlanjut seterusnya selama band ini berada di atas panggung. Untuk lagu "The Silent Man", James Labrie menyanyikannya diiringi John Petrucci secara akustik, dan penonton ikut menyanyikan lagu dari album Awake tersebut sambil melambaikan tangan pelan. Lagu-lagu lain seperti 6:00, Build Me Up Break Me Down, The Root of All Evil, A Fortune In Lies, Outcry, dan Beneath The Surface dimainkan dengan apik diselingi 'pamer' skill oleh masing-masing personil.
Band ini memang gemar memberikan kesempatan para personilnya untuk unjuk gigi. Jordan Ruddess, John Petrucci, dan John Myung juga sempat menonjolkan kemampuannya diantara beberapa lagu. Kemampuan masing-masing personil ditunjukkan tanpa kesan saling mendominasi. Saya sih cuma mampu bengong, tepuk tangan sambil terus bedecak kagum, plus elus-elus perut, berharap suatu saat nanti punya anak dengan kemampuan seperti mereka. silakan diamini secara berjamaah.
Selain itu, minus Mike Portnoy, tidak lantas membuat Dream Theater pincang karena jelas sekali kemampuan Mike Mangini, pengganti Portnoy, tidak bisa kita anggap enteng. Fans fanatik Dream Theater pasti telah dikecewakan dengan keluarnya Portnoy, tapi pertunjukan tunggal Mike Mangini dalam konser ini, sangat membuktikan betapa kemampuannya bermain drum sudah berada pada tingkat kahyangan, (setidaknya menurut saya yang awam dan cuma bisa bengong melihatnya menunjukkan kecepatan, kekuatan, keteraturan, dan teknik silang sana-sini). Ini karena pertama kalinya saya melihat yang beginian, atau memang yang bermain di atas sana adalah orang gila? Saya sendiri yang melihatnya merasa ngos-ngosan. Belum lagi kamera yang dipasang tepat di atas peralatan drum yang... wedhew, betapa banyak, ribet, dan detail sekali (entah apa namanya itu). Dari kamera tersebut kita bisa melihat kecepatan tangan dan kaki yang aduhai, mata ini sulit mengikuti. Maka jangan berkedip.
Oya, saya sempat menangis mendengar lagu Surrounded akhirnya dimainkan, belum lagi ketika para penonton ikut bernyanyi dan mengangkat tangan ketika lagu Spirit Carries On muncul diantara lagu-lagu yang cukup menderu lainnya. Mengingat kembali betapa saya menantikan konser ini, yang selama ini saya pikir sangat tidak mungkin mereka datang ke Indonesia, atau setidaknya saya bisa menyaksikannya jika mereka bermain disini. Dugaan-dugaan tersebut hilang seketika, mereka ada dan saya sedang menyaksikannya. ini nyata, bukan sekedar video konser mereka. Saya ikut menyanyi dengan haru.
Konser ini ditutup dengan lagu Pull Me Under, setelah teriakan penonton "We want more! We want more!" menggema berkali-kali. Seperti mengerti bahwa ini adalah lagu terakhir yang akan dimainkan di sini, maka para penonton tidak lagi hanya bernyanyi lirih, semua bernyanyi dengan lantang. Semangat menderu benar-benar terasa pada lagu terakhir ini. Bahkan ketika para personil berpamitan dan melambaikan tangan, ketika akhirnya penonton keluar setelah teriakan "we want more!" yang tak terturuti, ketika diluar gedung semua saling bercerita betapa hebatnya band ini, dan bahkan sampai ketika saya menuliskan ini, seperti ada deru yang tak kunjung berhenti. Berlebihan? Jangan iri, deh. Ini yang namanya demen.